Selasa, 04 Februari 2014

Benigna Prostatik Hyperplasia (BPH)

Pengertian
Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar / jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika ( Lab / UPF Ilmu Bedah RSUD dr. Sutomo, 1994 : 193 ).

Review Anatomi Fisiologi
Kelenjar prostat terletak tepat dibawah buli – buli dan mengitari uretra. Bagian bawah kelenjar prostat menempal pada diafragma urogenital atau sering disebut otot dasar panggul.
Kelenjar ini pada laki - laki dewasa kurang lebih sebesar buah kemiri, dengan panjang sekitar 3 cm, lebar 4 cm dan tebal kurang lebih 2,5 cm. Beratnya sekitar 20 gram.

Prostat terdiri dari jaringan kelenjar, jaringan stroma (penyangga ) dan kapsul. Cairan yang dihasilkan kelenjar prostat bersama cairan dari vesikula seminalis dan kelenjar cowper merupakan komponen terbesar dari seluruh cairan semen. Bahan – bahan yang terdapat dalam cairan semen sangat penting dalam menunjang fertilitas, memberikan lingkungan yang nyaman dan nutrisi bagi spermatozoa serta proteksi terhadap invasi mikroba.

Kelainan pada prostat yang dapat mengganggu proses reproduksi adalah keradangan ( prostatitis ). Kelainan yang lain seperti pertumbuhan yang abnormal ( tumor ) baik jinak maupun ganas tidak memegang peranan penting pada proses reproduksi tetapi lebih berperan pada terjadinya gangguan aliran urin. Kelainan yang disebut belakangan ini manifestasinya biasanya pada laki - laki usia lanjut ( FK UNAIR / RSUD dr. Soetomo : 19 ).


PatofisiologiPembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan akan menghambat aliran urin. Keadaan ini dapat meningkatkan tekanan intravesikal. Sebagai kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot detrusor dari buli - buli berkontraksi lebih kuat untuk dapat memompa urin keluar. Kontraksi yang terus - menerus menyebabkan perubahan anatomi dari buli - buli berupa : hipertropi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula dan difertikel buli - buli.

Perubahan struktur pada buli - buli dirasakan klien sebagai keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptom / LUTS (Basuki, 2000 : 76).

Puncak dari kegagalan kompensasi adalah ketidakmampuan otot detrusor memompa urine dan terjadi retensi urine. Retensi urin yang kronis dapat mengakibatkan kemunduran fungsi ginjal ( Sunaryo, H, 1999 : 11 ).

EtiologiPenyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui. Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan

Karena etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga timbulnya hiperplasi prostat antara lain :
  1. Dihydrotestosteron
    Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
  2. Perubahan keseimbangan hormon estrogen - testoteron
    Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
  3. Interaksi stroma - epitel
    Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
  4. Berkurangnya sel yang mati
    Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
  5. Teori sel stem
    Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit ( Roger Kirby, 1994 : 38 ).

DiagnosisUntuk menegakkan diagnosis BPH dilakukan beberapa cara antara lain :
1). Anamnesa
Kumpulan gejala pada BPH dikenal dengan LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms) antara lain: hesitansi, pancaran urin lemah, intermittensi, terminal dribbling, terasa ada sisa setelah miksi disebut gejala obstruksi dan gejala iritatif berupa urgensi, frekuensi serta disuria.
IPSS (International Prostate Symptoms Score) adalah kumpulan pertanyaan yang merupakan pedoman untuk mengevaluasi beratnya LUTS. Keadaan klien BPH dapat ditentukan berdasarkan skor yang diperoleh :
Skor 0 - 7 = gejala ringan.
Skor 8 - 19 = gejala sedang.
Skor 20 – 35 = gejala berat.
2). Pemeriksaan Fisik
Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi dapat meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi sampai syok pada retensi urin serta urosepsis sampai syok - septik. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk mengetahui adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra simfiser pada keadaan retensi akan menonjol. Saat palpasi terasa adanya ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya residual urin. Penis dan uretra juga diperiksa untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus, striktur uretra, batu uretra, karsinoma maupun fimosis. Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis.
Rectal touch /pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan konsistensi sistim persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat. Dengan rectal toucher dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :
Derajat I = beratnya ± 20 gram.
Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.
Derajat III = beratnya > 40 gram.
3). Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar gula digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien. Pemeriksaan urin lengkap dan kulturnya juga diperlukan. PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai kewaspadaan adanya keganasan.
4). Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara obyektif pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan penilaian
a). Flow rate maksimal > 15 ml / dtk = non obstruktif.
b). Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line.
c). Flow rate maksimal < dtk =" obstruktif.
5). Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
a. BOF (Buik Overzich
Untuk melihat adanya batu dan metastase pada tulang.
b. USG (Ultrasonografi)
Digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume dan besar prostat juga keadaan buli – buli termasuk residual urin. Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal, transuretral dan supra pubik.
c. IVP (Pyelografi Intravena)
Digunakan untuk melihat fungsi exkresi ginjal dan adanya hidronefrosis. Dengan IVP, buli – buli dilihat sebelum, sementara dan sesudah isinya dikosongkan. Sebelum, untuk melihat adanya intravesikal tumor dan divertikel. Sementara (voiding cystografi), untuk melihat adanya reflux urin. Sesudah (post evacuation), untuk melihat residual urin.
d. Pemeriksaan Panendoskop
Untuk mengetahui keadaan uretra dan buli – buli (Sunaryo, H, 1999 : 11-21).

PenatalaksanaanModalitas terapi BPH adalah :
1).Watchful (observasi)
Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3 – 6 bulan kemudian setiap tahun tergantung keadaan klien
2).Medikamentosa
Terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang, dan berat tanpa disertai penyulit serta indikasi terapi pembedahan tetapi masih terdapat kontraindikasi atau belum “well motivated” Obat yang digunakan berasal dari: phitoterapi (misalnya: Hipoxis rosperi, Serenoa repens, dll), gelombang alfa blocker dan golongan supresor androgen.
3).Pembedahan
Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
*Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut.
*Klien dengan residual urin > 100 ml.
*Klien dengan penyulit.
*Terapi medikamentosa tidak berhasil.
*Flowmetri menunjukkan pola obstruktif.
Pembedahan dapat dilakukan dengan :
-)Pembedahan biasa / open prostatektomi.
-)TURP.
TURP dilakukan dengan memakai alat yang disebut resektoskop dengan suatu lengkung diathermi. Jaringan kelenjar prostat diiris selapis demi selapis dan
dikeluarkan melalui selubung resektoskop.

Dampak Masalah
Setiap perubahan yang terjadi selalu menimbulkan dampak. Begitu juga dengan individu yang telah dilakukan tindakan TURP akan mengalami perubahan baik yang mempengaruhi individu.
Dampak yang sering muncul pada klien pasca TURP antara lain :
1)Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Timbulnya perubahan pemeliharaan kesehatan karena tirah baring selama 24 jam pasca TURP. Adanya keluhan nyeri karena spasme buli - buli memerlukan
penggunaan antispasmodik sesuai terapi dokter ( Marilynn, E.D, 2000 : 683).
2)Pola nutrisi dan metabolisme
Klien yang dilakukan anasthesi SAB tidak boleh makan dan minum sebelum flatus.
3)Pola eliminasi
Pada klien dapat terjadi hematuri setelah tindakan TURP. Retensi urine dapat terjadi bila terdapat bekuan darah pada kateter. Sedangkan inkontinensia dapat tejadi setelah kateter dilepas ( Sunaryo, H, 1999: 235 ).
4)Pola aktivitas dan latihan
Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah dan terpasang traksi kateter selama 6 – 24 jam. Pada paha yang dilakukan perekatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan.
5)Pola tidur dan istirahat
Rasa nyeri dan perubahan situasi karena hospitalisasi dapat mempengaruhi pola tidur dan istirahat.
6)Pola kognitif perseptual
Sistem Penglihatan, Pendengaran, Pengecap, peraba dan Penghidu tidak mengalami gangguan pasca TURP.
7)Pola persepsi dan konsep diri
Klien dapat mengalami cemas karena kurang pengetahuan tentang perawatan serta komplikasi BPH pasca TURP.
8)Pola hubungan dan peran
Karena klien harus menjalani perawatan di rumah sakit, maka dapat mempengaruhi hubungan dan peran klien baik dalam keluarga, tempat kerja, dan masyarakat.
9)Pola reproduksi seksual
Tindakan TURP dapat menyebabkan impotensi dan ejakulasi retrograd ( Sunaryo, H, 1999 : 36 ).
10)Pola penanggulangan stres
Cemas dapat dialami klien karena kurang pengetahuan tentang perawatan dan komplikasi pasca TURP. Gali adanya stres pada klien dan mekanisme koping klien terhadap stres tersebut.
11)Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya traksi kateter memerlukan adaptasi klien dalam menjalankan ibadahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar